Banyak hal menarik dari sosok Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya hidup dan karyanya, makamnya pun menjadi magnet banyak orang untuk mengenalnya lebih jauh. Saya berkesempatan berziarah ke makam suami Siti Rahmiati Hatta itu. Berbeda dengan banyak tokoh perjuangan kemerdekaan yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Hatta dalam wasiatnya memilih untuk dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum, yakni TPU Tanah Kusir. Baca Juga: Wisata Sejarah Fort San Pedro Filipina TPU Tanah Kusir terletak di Jalan Bintaro Raya, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Jika tidak biasa lewat jalan sini, area pemakaman tidak begitu terlihat. Bahkan Makam Bung Hatta yang berbentuk Rumah Gadang yang berada di depan TPU juga tampil tidak mencolok. Hal ini tak terlepas dari lokasi makam yang lebih rendah ketimbang jalan dan banyak pohon merindang di pinggir jalan. Hatta tidak
Pilihan Editor
Covid-19 Tunjukkan Bahwa Kebutuhan Primer itu Rumah, Bukan Boba
Pangan, sandang, dan papan yang dirangkum sebagai kebutuhan primer sudah tak asing terdengar. Sejak kecil, orang tua dan guru selalu mengingatkan betapa pentingnya kita memenuhi 3 kebutuhan mendasar tersebut. Namun, semakin umur bertambah kebutuhan tersebut tak otomatis dapat dipenuhi. Terutama kebutuhan akan papan, alias rumah. Sebagai bocah Sekolah Dasar, waktu itu saya berpikir bahwa kebutuhan dasar sudah otomatis melekat atau dimiliki oleh setiap orang. Jika tidak terpenuhi, artinya orang tersebut mati atau tidak hidup dengan layak. Orang tidak bisa makan, akan mati. Orang tidak bisa berpakaian, akan membuat malu diri sendiri, orang lain, dan menjadi risi bagi siapapun yang melihatnya. Orang tidak punya rumah? Jawabannya, banyak! Artinya, banyak orang hidup dengan tidak layak. Data Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebutkan, persentase rumah tangga di DKI Jakarta tinggal di rumah sendiri sebanyak
Tanpa Menginap, Kita Bisa Wisata Rusa di Hotel Rancamaya
Matahari melepas kehangatan yang memberi semangat di pagi itu. Hari yang cocok untuk merengkuh semangat baru. Namun jangan lupa, selalu memakai masker. Virus mengintai siap menghancurkan niat baik kita untuk relaksasi dari kepenatan pembatasan sosial. Tepat pukul 09.00, 14 Juli 2020, kami sekeluarga memacu kendaraan menuju R Hotel Rancamaya. Dari Kelapa Gading kami menyusuri Jalan Yos Sudarso, Jalan Jenderal Ahmad Yani, menuju pintu tol Cawang untuk masuk Tol Jagorawi. Kenapa tidak masuk Tol Wiyoto Wiyono di depan Artha Gading? Jawabannya, hemat Rp 10.000, hehehe Hari itu, kami bisa berkendara maksimal 100km/ jam. Satu mobil dengan lainnya bisa menjaga jarak aman, sekitar 70-100 meter. Alhasil, 50 menit kemudian kami sampai di exit tol Ciawi. Artinya R Hotel Rancamaya yang berjarak sekitar 62 km dari Jakarta sudah tidak jauh lagi. Baca
Mencoba Ritual dan Belanja Kalap ke Kuil Sensoji Asakusa
Kata orang, bagi yang baru kali pertama ke Jepang, salah satu tempat yang wajib dikunjungi adalah Kuil Sensoji. Sehari sebelum meninggalkan Jepang kami pun nekat pergi ke kuil yang terletak di Asakusa itu. Petualangan yang seru dan semua souvenir yang kami inginkan, ternyata didapatkan di sana. Sekitar 10 hari kami di Jepang. Tujuan pertama adalah ke Sapporo, Hokkaido. Kemudian kami menginap di Shinjuku beberapa hari sebelum balik Jakarta. Pada 6 Oktober 2017, Sari dan saya pisah rombongan. 4 orang lain pergi ke daerah yang bagi kami tidak menarik. Kami pun memutuskan untuk pergi ke Asakusa. Bagi kami ini perjalanan nekat, karena ini perjalanan pertama di Jepang dan selama di sini kami hanya ngikut aja sama yang lain. Secara mereka udah beberapa kali trip ke Negeri Sakura ini. Baca Juga:
Resep Macaroni Schotel Warisan Oma
Indonesia adalah negara besar yang memiliki banyak ragam kuliner. Dibentuk dari banyak budaya, kuliner Indonesia terkenal dengan cita rasa yang menggiurkan. Kali ini, kuliner yang akan saya sorot adalah macaroni schotel. Istimewanya, macaroninya adalah resep dari Oma Leony. Sejak lama saya bertanya-tanya, makaroni kan dari Italia, tapi kok schotel yang adalah kata Belanda. Apakah makanan ini ada hubungannya dengan Belanda yang lama menjajah Indonesia? Apakah ada sentuhan Indonesia di sajian yang tampaknya “makanan londo” ini? Dari literatur yang saya baca, benar saja, schotel berarti hidangan dari bahasa Belanda. Kata schotel dekat dengan kata schaal yang berarti wadah, pinggan, atau mangkok. Kata schaal tidak asing bagi kami, karena Oma Leony menyebut pinggan kaca untuk memasak makaroni schotel dengan sebutan schaal. Dengan demikian, macaroni schotel menunjuk pada hidangan
Apa yang Ditawarkan Jepang Juga Ada di Jakarta
Membicarakan Jepang sebagai sebuah negara maju sudah biasa. Menyebut Jepang sebagai negara yang memiliki alam yang indah juga sudah tidak lagi asing. Ada banyak orang Indonesia menuliskan hal itu setelah pulang berkunjung dari sana. Namun bagi saya, yang luar biasa itu adalah bagaimana sebuah negara maju tetapi bisa tetap melestarikan alamnya. Melihat Jepang adalah melihat sebuah cara baru bagaimana menilai sebuah negara maju. Negara yang maju tidak lagi dilihat sekadar seberapa hebat bangunan fisik yang dibuat, sudah bermain ke industri manufaktur, nilai kursnya tinggi, masyarakatnya makmur, dan lain sebagainya. Kini negara bisa dibilang maju jika kemajuan industrinya diikuti dengan melestarikan alam dan budaya. Kanal Otaru yang sangat bersih. Sungai tidak bau dan bisa dijadikan transportasi sungai yang ramah wisatawan. Burung pun tak
Misteri Bunker dan Kamar Nonik Ratusan Tahun di Lasem
Saya senang dengan budaya dan kesenian. Rumah kuno yang terawat, apalagi dengan bawaan aslinya, bagi saya warisan budaya dan kesenian yang lengkap. Di sanalah tergurat filosofi, budaya, kesenian, cara hidup, nilai dan norma bahkan ada "sesuatu" yang dapat dirasakan secara naluri. Rumah Merah Lasem adalah salah satu rumah kuno yang berhasil menggeret saya masuk pada Mei 2019. Saya bersama keluarga berkesempatan mengunjungi Rumah Merah yang beralamat di Jalan Karangturi No.4/7, Karangturi, Lasem, Jawa Tengah pada Mei 2019 silam. Bagian depan Rumah Merah Lasem atau sekarang disebut Tiongkok Kecil Heritage. Warna merah sudah membuatnya mentereng dari lingkungan sekitar. Belum lagi, 2 pilar di depan rumah yang begitu megah. Kayu-kayu jati tampak bergurat asli, menjadi saksi bisu kedatangan bangsa China di tanah Jawa. "Rumah ini bergaya
Cerita Batik Tiga Negeri: Pewarnaan dari 3 Kota, Seharga 2 Sapi, sampai Merah Darah Ayam
Hari semakin senja, badan terasa begitu lepek. Apalagi seharian perjalanan dari Jakarta, belum juga melepas lelah. Ditambah dengan udara kersang khas Pantura. Sisa energi yang ada, dipakai untuk menyalurkan rasa penasaran pada Batik Lasem di Tiongkok Kecil Heritage, Lasem, Jawa Tengah. Batik sendiri telah menjadi identitas asli Indonesia. Bahkan telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Yang menarik, Batik Lasem sangat kental dengan sentuhan budaya Tiongkok. Hal ini tidak mengherankan, karena menurut catatan National Geographic Indonesia, pada abad 19 sampai awal abad 20 Lasem menjadi tempat jumlah etnis Tionghoa terbesar ketiga setelah Batavia dan Semarang. Nenek moyang mereka datang dari pesisir pantai selatan Tiongkok yakni Fujian dan Guangdong. Sejarah yang dicatatkan kembali
Basilica del Santo Nino: Simbol Katolisitas dan Harapan Warga Filipina
Matahari terasa begitu terik. Debu beramburan disapu kendaraan melintas. Pejalan kaki semakin tersingkir, kepanasan dan menghirup berbagai polusi. Aroma kota pelabuhan semakin kental dengan kehadiran truk kontainer yang menjejal di jalanan yang padat. "Serasa di Tanjung Priok ya," gumamku dalam hati. Tapi ini bukan Priok, bukan pula di Indonesia. Ini adalah Cebu, sebuah kota di Filipina. Negara tetangga yang secara topografi memang tidak jauh berbeda dengan tanah air. Tantangan alam tersebut harus dilalui untuk mengunjungi destinasi wajib di Cebu. Tiap orang yang saya tanya, ada apa di Cebu, jawabannya sama,"Basilica del Santo Nino!" Kami, tentu masih bersama Sari, tidak memilih jalan mudah untuk pergi ke sana. Kami berangkat dari Mactan, pulau kecil di selatan Cebu, dengan menggunakan Jeepney, angkutan umum khas Filipina. Basilica Santo Nino tampak dari jalan raya,