Kerja sambil jalan-jalan, menjadi lengkap saat menyatukan hati dalam Perayaan Ekaristi. Sabtu sore, saat pekerjaan beres kami bergegas ke Gereja Katolik Santo Paulus di Jl. Moch. Toha, Bandung, Jabar. Inilah kali pertama kami misa di Gereja yang berdasarkan buku babtis sudah berdiri sejak 1939. Misa mulai jam 17.00 dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Maklum saat itu masih pandemi, tepatnya pada tanggal 9 Juli 2023. Baca Juga: Di Sela Kerja, Bisa Kabur Keliling Dan Kulineran Di Bangka Selesai misa saya menemui Boni, teman saya, yang bekerja di gereja. Setelah basa-basi sebentar, melucurlah pertanyaan paling mendasar, “Laper nih, yuks cari tempat makan yang punya kopi enak.” Seolah tampa berpikir panjang, Boni langsung mengajak kami ke “Kopi Purnama.” Info awal, Kopi Purnama yang beralamat di Jl. Alkateri No.22, Braga itu merupakan salah
Kuliner
Selain Bung Karno, Pelanggan Warung Nasi Bu Eha adalah Orang Belanda
Wisata kuliner menjadi oase terdekat bagi saya jika sedang bertugas ke luar kota. Hanya menyelipkan waktu sedikit dari agenda kerja, sudah bisa mengendurkan syaraf. Kali ini, Warung Nasi Bu Eha yang jadi tujuan utama saat ke Bandung. Acara kantor baru akan mulai loading sore hari. Dari Jakarta sudah memperkirakan untuk makan siang di Bandung. Dari banyak pilihan kuliner, kami tertarik mencoba Warung Nasi Bu Eha. Point pentingnya karena warung makan ini menjadi langganan Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia. Baca Juga: Mengenal Manfaat Ayam Batu Bara Gaaram Yang Baru Buka Di Green Pramuka Hal menarik lainnya adalah tempat makannya yang di tengah pasar. Bukan pasar modern tetapi ini adalah pasar tradisional. Bahkan, akhir-akhir ini terus bermunculan tempat makan di dalam Pasar Cihapit. Menurut saya, fenomena kuliner di
Mengenal Manfaat Ayam Batu Bara Gaaram yang Baru Buka di Green Pramuka
Dunia sedang dirundung oleh isu kerusakan lingkungan. Salah satu yang dijadikan kambing hitam adalah penggunaan batu bara. Anehnya, batu bara justru ngetren untuk campuran makanan. Loh?!?!?!!? Semuanya gegara saat saya diajak Sally Sutjiati untuk nyobain menu Gaaram di Green Pramuka Square Mall, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ia beli franchise atau waralaba Gaaram dan secara resmi buka hari ini, Jumat, 12 November 2021. Baca Juga: Gerebek Sekeluarga Karena Penasaran Menu Bavarian Haus Outlet Gaaram di Green Pramuka Square Mall, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Sally mengaku tidak sembarangan ambil waralaba. “Lidah gue termasuk rewel. Mudah enek kaluu gak pas bumbunya. Tetapi saat nyobain menu Gaaram, rasanya enak,” akunya. Menu yang membuatnya jatuh cinta dengan Gaaram adalah rasa ayam dan nasi jeruknya. “Nasi jeruknya enak banget. Menurut saya, ini pas untuk selera gue.” Menu andalan
Gerebek Sekeluarga Karena Penasaran Menu Bavarian Haus
Sudah 5 bulan kami taat untuk tidak bepergian, kecuali untuk keperluan dapur dan pekerjaan. Namun akhirnya di era new normal kami meregangkan kaki ke Puncak. Salah satu tujuannya kuliner di Bavarian Haus Bratwurst ‘n Grill. Kami mencoba mengikuti protokol kesehatan. Caranya adalah dengan selalu menggunakan masker, mencuci tangan/ menggunakan hand sanitizer setelah memegang sesuatu terlebih uang, dan menjaga jarak yakni pergi di weekdays. Hari itu, 7 Juli 2020, kami bertolak dari Jakarta ke Puncak. Tujuan pertama kami adalah hunting tanaman hias. Maklum musim pandemi kami banyak terbenam dalam hobi berkebun. Saya sendiri yang dari dulu suka bercocok tanam, semakin semangat karena saudara dan teman ikutan hoby yang menyegarkan ini. Baca Juga: Resep Macaroni Schotel Warisan Oma Baca Juga: Inilah Kuliner Legendaris Bantul Versi Pemda Bantul Baca Juga: Ramen
Resep Macaroni Schotel Warisan Oma
Indonesia adalah negara besar yang memiliki banyak ragam kuliner. Dibentuk dari banyak budaya, kuliner Indonesia terkenal dengan cita rasa yang menggiurkan. Kali ini, kuliner yang akan saya sorot adalah macaroni schotel. Istimewanya, macaroninya adalah resep dari Oma Leony. Sejak lama saya bertanya-tanya, makaroni kan dari Italia, tapi kok schotel yang adalah kata Belanda. Apakah makanan ini ada hubungannya dengan Belanda yang lama menjajah Indonesia? Apakah ada sentuhan Indonesia di sajian yang tampaknya “makanan londo” ini? Dari literatur yang saya baca, benar saja, schotel berarti hidangan dari bahasa Belanda. Kata schotel dekat dengan kata schaal yang berarti wadah, pinggan, atau mangkok. Kata schaal tidak asing bagi kami, karena Oma Leony menyebut pinggan kaca untuk memasak makaroni schotel dengan sebutan schaal. Dengan demikian, macaroni schotel menunjuk pada hidangan
Inilah Kuliner Legendaris Bantul Versi Pemda Bantul
Kabupaten Bantul menjadi salah satu daerah di Yogyakarta yang memiliki daya tarik wisatawan. Padahal sekitar 20 tahun lalu, orang masih malu mengakui dirinya berasal dari Bantul. Image Bantul sebagai daerah miskin dan terbelakang, menjadi latar belakangnya. Dalam perkembangannya, Bantul semakin berkembang dan telah diakui secara nasional memiliki potensi industri kreatif yang tinggi. Wakil Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, mengatakan bahwa daerahnya ditetapkan sebagai Kabupaten Kreatif Kriya terkuat di Indonesia pada tahun 2016. Hal tersebut dikatakannya saat menerima Tim Majalah AKSES dari Ditjen Asia Pasifik dan Afrika (Aspasaf) Kementerian Luar Negeri di Gedung Induk Manggala Parasamya Bantul, 3 September 2019. Baca Juga: Ramen Ichiran, Sensasi Makan Seperti Di Perpustakaan Khusus di sektor pariwisata, yang masuk dalam industri kreatif, pendapatannya mengalami peningkatan signifikan dalam 2 tahun terakhir.
Ramen Ichiran, Sensasi Makan Seperti di Perpustakaan
Pengalaman traveling tidak pernah selesai untuk diceritakan. Ada saja pengalaman yang membekas. Baik menyenangkan maupun tidak, jejak wisata kita selalu indah jika diletakkan di tempat yang pas di dalam relung hati kita. Itulah yang juga saya alami saat makan ramen di tempat asalnya. Jepang! Perjalanan 10 hari di Jepang 2 tahun lalu, memang tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi. Untungnya salah satu agenda wajibnya adalah menyantap ramen di Kedai Ichiran. Salah satu kedai ramen tersohor di Negeri Sakura tersebut. Sehari sebelum mengakhiri wisata Jepang, kami bertiga bersama isteri dan kakaknya menuju kedai tersebut. Dari Hotel Sunroute Plaza Shinjuku kami jalan kaki sekitar 750 meter. Ramen Ichiran sudah tersohor di warga lokal dan wisatawan asing, gak heran pas datang, waiting list. Sambil nunggu disuruh pesen menu di secarik kertas. Foto:
Jenuh Macet ke Puncak, Mending ke Kopi Daong, Ngopi di Bawah Pohon Pinus
Sudah sejak lama Bogor menjadi oase bagi penduduk Jakarta untuk melepas penat. Kota Bogor yang wilayahnya tidak luas, sesak dengan ragam kafe dan restoran. Bergeser ke Kabupaten Bogor, kita semua tahu kalau Puncak yang sebenarnya sudah jenuh tetapi tetap menjadi wisata andalan warga ibu kota. Di tengah situasi tersebut muncul Kopi Daong, tempat stress release baru. Kopi Daong adalah kafe dan restoran yang berada di tengah hutan pinus. Lokasinya bukan di Kota Bogor dan juga bukan di area Puncak, tetapi di daerah Ciawi, sehingga lalu lintasnya lebih bersahabat. "Kenapa disebut Kopi Daong karena owner kita orang Manado-Jawa, dalam Bahasa Manado daong artinya daun. Filosofinya, kita makan dan minum berada tepat di bawah daun-daun," kata Teddy, pengelola Kopi Daong saat ditemui di
“Enak Kalian Ada Go Food, Gak Seperti di Holland”
Kedatangan tamu kerap kami anggap sebagai berkah. Sebisa mungkin kami berikan yang terbaik. Apalagi kali ini, keluarga kami kedatangan tamu dari Negeri Belanda. Tante Grace kami memanggilnya, adik dari ibu mertua saya. Walau sudah puluhan tahun menjadi Warga Negara Belanda, tapi kecintaannya pada makanan Indonesia tidak pernah hilang. Selain suka makan, ia juga mahir dalam memasak. Khususnya masakan Indonesia. Tidak heran, tiap kali pulang ke Indonesia dengan tujuan khusus tertentu, kami sudah hafal agenda utamanya tetap menyantap makanan nusantara dan berburu kuliner Indonesia untuk dibawa ke Belanda. Kali ini, ia datang atas undangan salah satu saudara kami yang menikahkan anaknya. Selama hampir sebulan di Jakarta pada Mei 2018, sederet makanan sudah dilahap. Mulai dari asinan sayur, gado-gado, sate ayam, sate babi, sampai
Kedai Kopi Apek, Cerminan Budaya Indonesia yang Mengharamkan Terorisme
Jam masih menunjukkan pukul 6.30 pagi. Lalu lintas tampak masih lengang. Tapi suasana di Kedai Kopi Apek sudah cukup ramai. Di ruangan berukuran 5m x 4m itu sudah ada sekitar 13 orang. Menariknya, mereka tampak saling kenal. Tiap ada yang datang, ada orang di dalam yang menyambut. Saya pun tampak semakin nyata sebagai pendatang. Dari beragam sumber bacaan, kedai kopi yang sudah buka sejak 1922 itu memang terkenal dengan tempat sosialisasi warga Medan, Sumatera Utara. Beragam suku, etnis, profesi dan agama tampak membaur seakan mewakili keragaman Kota Medan secara umum. Dan pagi itu saya merasakan sendiri keberagaman yang telah ditulis banyak orang. Kedai Kopi Apek tampak depan Ketika saya datang, sudah ada sekitar 6 orang yang tampaknya satu keluarga Tionghoa. Pemilik kedai sendiri