Covid-19 Tunjukkan Bahwa Kebutuhan Primer itu Rumah, Bukan Boba

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Pangan, sandang, dan papan yang dirangkum sebagai kebutuhan primer sudah tak asing terdengar. Sejak kecil, orang tua dan guru selalu mengingatkan betapa pentingnya kita memenuhi 3 kebutuhan mendasar tersebut. Namun, semakin umur bertambah kebutuhan tersebut tak otomatis dapat dipenuhi. Terutama kebutuhan akan papan, alias rumah.

Sebagai bocah Sekolah Dasar, waktu itu saya berpikir bahwa kebutuhan dasar sudah otomatis melekat atau dimiliki oleh setiap orang. Jika tidak terpenuhi, artinya orang tersebut mati atau tidak hidup dengan layak.

Orang tidak bisa makan, akan mati. Orang tidak bisa berpakaian, akan membuat malu diri sendiri, orang lain, dan menjadi risi bagi siapapun yang melihatnya. Orang tidak punya rumah? Jawabannya, banyak! Artinya, banyak orang hidup dengan tidak layak.

Data Badan Pusat Statistik tahun 2019 menyebutkan, persentase rumah tangga di DKI Jakarta tinggal di rumah sendiri sebanyak 47,12%. Mayoritas memang, karena 36,36% warga DKI Jakarta tinggal di rumah sewa/ mengontrak. Tetapi kalau kita hitung, 36,36% dari 11 juta penduduk DKI Jakarta, maka kira-kira ada 4 juta warga DKI yang tak punya rumah sendiri.

Melihat realitas ini tampaknya kita sepakat kalau rumah menjadi persoalan bersama yang patut disikapi serius. Pemerintah sendiri sudah menunjukkan usahanya untuk mengatasi kekurangan perumahan, salah satunya melalui program satu juta rumah.

Program Satu Juta Rumah

Pemerintah meluncurkan program satu juta rumah karena mulai menyadari bahwa banyak penduduk Indonesia yang tidak punya rumah. Artinya, banyak masyarakat hidup dengan tidak layak. Untuk itulah, sejak tahun 2015 Pemerintahan Jokowi-JK menetapkan program ini sebagai salah satu program strategis pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah pribadi, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). 

Panglima pembangunan perumahan rakyat ini diserahkan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), khususnya Direktorat Jenderal Perumahan. Dari data kementerian yang dipimpin oleh Basuki Hadimuljono ini, capaian program satu juta rumah cukup menjanjikan. Dengan target per tahun membangun satu juta rumah, di akhir 2018 pemerintah berhasil membangun 1,13 juta unit.

Setahun kemudian telah berdiri 1.257.852 unit rumah baru. Dengan capaian tersebut, kita semua punya harapan besar untuk mengikis backlog sebesar 7,6 juta unit di saat program ini mulai berjalan tahun 2015. Bagaimana perkembangannya di tahun 2020 yang mana terjadi pandemi Covid-19?

CEO Indonesia Property Watch Advisory Group Ali Tranghanda kepada Bisnis.com mengatakan, penjualan rumah di pasar primer selama 3 bulan pertama tahun ini anjlok 30,52 persen atau lebih dalam dari kuartal sebelumnya sebesar -16,33 persen dan dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu 23,77 persen. Secara tahunan, penjualan rumah mengalami penurunan -43,19 persen dari kuartal sebelumnya sebesar 1,19 persen. 

Namun, menurut Dirjen Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid kepada Medcom.id, program sejuta rumah menjadi lebih aktual dengan adanya pandemi Covid-19. Keberadaan rumah yang sehat dan layak huni bisa meningkatkan daya tahan tubuh penghuni maupun lingkungan sehingga masyarakat bisa lebih nyaman dan terhindar dari penularan Covid-19.

Untuk itu, kata Hamid, pihaknya telah membentuk 19 Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan yang tersebar di berbagai provinsi. Dengan adanya lembaga ini, diharapkan mempermudah koordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dalam hal menyelenggarakan perumahan bagi masyarakat di daerah secara luas dan merata. Dengan demikian turut mendorong capaian program sejuta rumah.

Tidak hanya itu, di tengah pandemi ini Pemerintah menggelontorkan anggaran senilai Rp 1,5 triliun untuk memberikan tambahan stimulus pembiayaan perumahan bagi MBR. Stimulus tersebut berupa alokasi dana untuk program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi Selisih Bunga (SSB), Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), serta Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).

Menurut Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Eko Djoeli Heripoerwanto, tambahan alokasi dana tersebut untuk stimulus membiayai KPR SSB sebanyak 175.000 unit, FLPP sebanyak 88.000 unit, serta BP2BT 67.000 unit.

Dana sebesar itu akan disalurkan dengan mekanisme pemanfaatan aplikasi SiKasep dan SiKumbang. Aplikasi SiKasep digunakan untuk penyaluran kredit perumahan agar proses menjadi calon debitur tak perlu bertatap muka dengan pihak bank.

Komitmen ini akan terus dipegang bahkan sampai tahun 2021, yang diperkirakan tetap menjadi tahun yang berat di bawah pengaruh pandemi Covid-19. Untuk tahun depan, Kementerian PUPR mengalokasikan pagu indikatif sebesar Rp 7,48 triliun untuk program perumahan.

Menurut Hamid, anggaran tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk pembangunan rumah susun, rumah khusus, bantuan rumah swadaya serta pembangunan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) untuk perumahan masyarakat. “Kami akan terus mendorong pelaksanaan Program Sejuta Rumah di seluruh wilayah Indonesia,” katanya.

Kita patut apresiasi terobosan yang telah dilakukan pemerintah ini, mengingat hingga 10 Agustus, realisasi program satu juta rumah baru 258.252 unit. Artinya, untuk membangun satu juta rumah sampai akhir 2020 masih butuh sekitar 750.000 unit rumah di sisa 4 bulan ini.

Secara realistis, Hamid menambahkan, walau ada kemungkinan target akan terkoreksi tetapi pihaknya akan mengoptimalkan tiap usaha.  Di tengah new normal, ia berharap para pengembang properti bisa bangkit kembali melaksanakan pembangunan rumah untuk masyarakat di seluruh Indonesia.

Kuncinya Komitmen Pribadi

Pandemi Covid-19 membuat banyak orang sadar arti penting rumah. Sebelum pandemi, mungkin rumah hanya untuk tempat tidur saja, sehingga kebutuhan akan rumah dikalahkan dengan kebutuhan tersier seperti jajan boba, es kopi susu, memberi barang yang bukan kebutuhan, sampai gaya hidup tidak sehat seperti merokok.

Namun, pandemi mengajarkan kita bahwa rumah adalah kebutuhan dasar. Sama pentingnya saat kita makan dan berpakaian. Apalagi pandemi memaksa kita melakukan semua aktifitas di dalam rumah, mulai dari bekerja, belajar, bahkan berusaha di dalam rumah. Tempat tinggal tidak lagi menjadi “tempat ampiran.”

Rumah.com melakukan survei pada Januari-Juni 2020 dan dimuat Katadata.co.id. Data yang disajikan cukup mengejutkan. Responden berusia 22-29 tahun atau 44% menyatakan keinginannya punya rumah sendiri. Lalu, sebanyak 36% responden berusia 30-39 tahun juga mengungkapkan keinginan yang sama. Sedangkan usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun yang ingin memiliki rumah sendiri masing-masing sebesar 27% dan 16%. 

Sumber: Katadata.co.id

Survei menunjukkan bahwa milenial, generasi yang mendominasi masyarakat Indonesia, punya keinginan besar untuk memiliki rumah. Mereka yang kerap dicap sebagai generasi tukang jajan, ternyata menyadari rumah sebagai kebutuhan pokok.

Dengan demikian, pandemi Covid-19 tidak melulu jelek. Selalu ada pelajaran berharga di setiap pengalaman yang sekilas tampak menyesakkan.

Bisa dikatakan, ada kesadaran kolektif kebutuhan akan rumah. Secara spesifik, di masa pandemi Covid-19 kelompok milenial mulai menyadari arti penting memiliki rumah. Mereka punya keinginan untuk hidup new normal di rumah sendiri. Dari sisi pemeritah, sudah banyak hal yang telah dan terus akan dilakukan untuk mempermudah kita memiliki rumah. Berarti kuncinya tinggal bagaimana usaha kita sendiri untuk sampai memiliki rumah.

Pengalaman saya mengatakan bahwa punya rumah itu menuntut perjuangan ekstra. Di masa awal mulai bekerja, saya numpang di 2 tempat. Pertama di rumah teman di daerah Ciseeng, lalu numpang di rumah saudara sepupu di Kota Bogor. Kala itu, saya sudah bertekad, sebelum 5 tahun kerja saya harus sudah punya rumah sendiri.

Untuk hemat waktu dan biaya transportasi maka saya ngekos di dekat kantor di Slipi, Jakarta. Yang dulunya Bogor-Jakarta PP, sekarang bisa jalan kaki ke kantor. Ongkos bisa ditabung untuk beli rumah. Cita-cita mulia, tetapi apa daya, baru setahun kerja, saya dipecat.

Saat itu, saya sempat kecewa dan drop. Namun keinginan meraih mimpi rumah pertama, membangkitkan kembali semangat kerja. Saya langsung direkrut untuk bekerja di perusahaan komunikasi, sampai sekarang.  

Mimpi rumah pertama saya adalah rumah tapak, bukan apartemen atau rumah susun. Seperti namanya, rumah tapak membuat saya benar-benar merasakan menapak bumi. Kaki dan tangan merasakan kehangatan tanah di saat saya bercocok tanam. Pori-pori dan hidung merasakan kesegaran yang dikeluarkan berbagai pohon yang saya tanam di pekarangan.

Perkembangan rumah saya menjadi rumah kami. Dari awal saya beli rumah pertama ini saat masih bujangan, sampai sekarang sudah berkeluarga.

Pertimbangan ini membuat saya harus menerima keadaan bahwa saya tidak akan mungkin punya rumah di Jakarta. Saya pasti tidak mampu membeli rumah tapak idaman di Jakarta, karena mahal.

Memasuki tahun ketiga, hal yang tidak terduga datang. Saya mendapat tawaran dari saudara sepupu saya untuk over kredit rumahnya di daerah Cimahpar, Bogor. Tidak mau lama-lama untuk kaget, kurang dari 1 bulan, saya langsung mengamini tawaran tersebut.

Apakah saya tergolong orang kaya? Tidak! Gaji saya hanya sedikit di atas UMR. Saya punya bonus di akhir tahun yang besarnya tergantung dari performa kerja dan proyek yang saya kerjakan. Jadi bonus sama sekali tidak bisa dipegang. Namun yang menjadi dasar berpikir saya kala itu, sampai kapan saya harus ngekos? Apalagi biaya kos terus naik tiap tahunnya. Pernah dalam 6 bulan, naik 2 kali. Lalu, buat apa saya terus berhemat dan mengeraskan hati untuk tidak mengikuti gaya hidup di Jakarta yang benar-benar menggoda?

Dari pertimbangan itulah, saya memutuskan menguras tabungan untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan saudara saya. Mulai dari proses kredit, uang muka, jumlah cicilan yang dibayar, sampai IPL (iuran pemeliharaan lingkungan). Setelah itu meneruskan kredit per bulan.

Orang bilang, untuk membeli rumah memang harus nekat, kalau tidak maka tidak akan pernah punya. Saya pun nekat, tetapi tetap rasional supaya tidak mudah melepasnya kembali. Kalau tidak nekat, mungkin tidak akan bisa membeli rumah. Rumah saya yang awalnya “hanya” Rp. 250 juta, kurang dari 5 tahun harganya sudah menyentuh Rp. 500an juta.

Saya sangat bersyukur bisa memenuhi kebutuhan primer. Pengalaman masa kecil yang diperkaya dengan banyak perjumpaan semakin meyakinkan pentingnya bagi manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kalau tidak mampu, maka ada pihak lain, entah itu pemerintah, swasta atau siapa saja, dan masih ada Tuhan. Satu yang pasti, kita pribadi punya tekad yang bulat dan kuat. 

Sekilas tentang Program Satu Juta Rumah Kementerian PUPR
Facebooktwitterby feather
wawan
Tanpa rokok, kopi saya menenteramkan nalar dan hati. Sembari terus menggulat di bidang komunikasi. Dulu menulis, lalu belajar fotografi dan kini bermain dengan videografi. Semua dijalani karena panggilan dan semangat berbagi. Terima kasih untuk atensinya, Tuhan memberkati.
https://www.onetimes.id

Leave a Reply

Top