Wisata Sehari ke Tegal, Lengkap dengan Tarif Tol

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Hidup di kota besar seperti Jakarta, kerap membuat saya susah curi waktu liburan ke luar kota. Kalau cuman Bogor, saya mah tiap weekend pulang ke rumah Bogor sambil kulineran. Kalau ke Tegal? Emang bisa apa berwisata ke Tegal dalam satu hari?

Pada 20 September 2019 jam 05.00 adalah puncak dari kerempongan selama sebulan. Tatkala matahari masih enggan bangkit dari peraduannya, mesin mobil sudah menyala. Mata yang belum sepenuhnya menyadari beda bantal dengan sandaran jok mobil, tetapi sudah awas menatap obyek yang terkena pancaran sinar headlamp. “Apakah sudah siap? Tak ada yang ketinggalan?” kata saya sambil menatap Yosef dan Sari, serta tumpukan barang di sisi ruang mobil.

Ceritanya, Yosef adik bungsu saya mau pindah ke Tegal. Setelah 5 tahun bekerja di Mayora dengan penempatan terakhir di Cikarang, dia memutuskan pindah ke Indofood yang berada di Tegal, Jawa Tengah.

Baca Juga: Apa Yang Ditawarkan Jepang Juga Ada Di Jakarta

Ngekos selama 5 tahun, tentu ada banyak yang bersarang. Di situlah keremponganya dimulai. Memilih apakah barang ini atau itu ikut dibawa. Jika tidak dibawa mau diapakan, dijual, dikasih, atau dibuang? Karena mau berangkat ke Tegalnya dari Jakarta, maka barang yang mau dibawa mesti diantar. Saking banyaknya, mesti dicicil padahal Yosef tidak punya banyak waktu luang. Alhasil, barang terkumpul juga.

Saatnya memilah dan menyusunnya di dalam mobil. Bongkar pasang penempatan tak terhindarkan. Alhasil tidak semua barang terangkut. Harus direlakan. Itupun loading barang ke mobil baru selesai jam 01.00 dengan badan penuh keringat. Padahal, jam 05.00 harus berangkat untuk menghindari macet di area Bekasi dan sekitarnya.

Exil tol Tegal

Tarif Tol ke Tegal

Salah satu gebrakan Presiden Jokowi adalah menyatukan Jawa dalam Jaringan Tol Trans Jawa. Tidak hanya dari Merak sampai Pamanukan, tetapi sampai Banyuwangi wilayah paling Timur Pulau Jawa.

Kami menyusuri Tol Trans Jawa ini untuk sampai ke Tegal. Sebelumnya, kami pernah menggunakan jalur ini sampai Semarang lalu masuk ke Pantura untuk sampai di Lasem, Jawa Tengah. Yang menarik, Tol Trans Jawa yang panjangnya lebih dari 1.000 Km ini, masuk dalam Jaringan Jalan Asia (Asian Highway 2) yang menghubungkan Asia dari Denpasar, Bali, Indonesia hingga Khosravi di Iran.  

Perjalanan dimulai dari Kramat, Jakarta Pusat. Tepat pukul 05:27 kami melewati Gerbang Tol Cempaka Putih dengan tarif 9.500. Tol ini adalah bagian dari Lingkar Dalam Jakarta (JIRR) Jalan Tol Ir. Wiyoto Wiyono (Tanjung Priok-Cawang) dengan panjang total 15Km.

Kami di tempat kos Yosef yang baru di Tegal. Betah yaa dan semoga sukses kerjanyaa

Perjalanan dilanjutkan ke jalan tol koridor Jakarta – Semarang. Ruas yang kami lewati berikutnya adalah Jalan Tol Jakarta-Cikampek dengan panjang 73 Km. Di Gerbang Tol Cikampek Utama 1 kami membayar Rp. 15.000 tepat pukul 06:52.

Berikutnya kami masuk ke Jalan Tol Cikopo – Palimanan dengan total panjang mencapai 116 Km. Tol yang kerap disebut Cipali ini, kami berhenti di rest area untuk buang air kecil. Kami tidak perlu jajan karena setiap kali melakukan perjalanan, bekal selalu dipersiapkan. Sekalipun berangkat subuh. Sari, isteri saya sudah menyiapkan roti yang dibeli sehari sebelum berangkat. Saya sendiri bawa kopi susu dengan gula aren yang dikemas di dalam termos. Untuk biaya tol yang dikeluarkan di Gerbang Tol Palimanan adalah Rp. 102.000 tepat pukul 08:22.

Perjalanan kami dilanjutkan dengan melewati 3 ruas jalan tol, yakni Tol Palimanan-Kanci (26 Km), Tol Kanci-Pejagan (35 Km), dan Tol Pejagan-Pemalang (57 Km). Tidak ada gerbang tol dalam ruas ini, kecuali di gerbang keluar tol. Akhirnya pada pukul 09:28 kami berhasil melewati Gerbang Exit Tol Tegal dengan membayar tarif Rp. 71.500.

Jadi kalau ditotal, lama perjalanan kami selama di jalan tol adalah 4 jam. Sedangkan biaya tol yang kami keluarkan adalah Rp. 198.000. Nah, kami lupa nih berapa biaya solar yang dikeluarkan. Pokoknya, tangki solar dalam keadaan full dengan biaya sekitar Rp. 300.000. Kami isi solar hanya sekali di Brebes, saat pulang.

Baca Juga: Wisata Belitung: Sejujurnya, Keindahan Alamnya Biasa Saja

Sarapan Sauto

Kami berencana sarapan di Tegal. Walau beberapa kali kami merasakan lapar, tetapi kami sepakat untuk sarapan sauto. Dari hasil penelusuran Google, ada beberapa tempat yang menjual Sauto.

Kami akhirnya menghentikan kendaraan di Warung Soto Sedap Malam Pak Kiman/ Jenggot, yang berada di Jalan Raya Talang 100 Tegal. Jaraknya hanya 2,6 Km dari Gerbang Tol Tega atau 5 menit saja dengan berkendara.

Warung Soto Sedap Malam Pak Kiman/ Jenggot

Tempatnya persis di pinggir jalan Pantura yang pagi itu cukup ramai. Ada banyak warga beraktifitas, tampak dari seragam kerja dan anak-anak yang memakai pakaian sekolah. Saat memasuki warung, hanya ada 2 orang yang sedang makan.

Ada 3 varian sauto, yakni isi daging kerbau, babat, dan daging ayam. Semuanya dihargai Rp 18.000. Kami pesan yang berbeda satu sama lain. Saat melihat sauto yang tersaji di dalam mangkok kecil, kami berpikir apakah bisa kenyang. Sekalipun sudah dicampur dengan nasi. Tidak lebih dari 5 menit, saya sudah menuntaskan sarapan saya. Dan ternyata, kenyang!

Indonesia kaya akan kuliner. Salah satu makanan khas nusantara adalah soto. Namun, sajian soto bisa sangat beragam di tiap daerah. Inilah hebatnya negara kita yang dipersatukan olh banyak perbedaan. Di Tegal, sauto yang kami makan tidak lain adalah soto yang oleh orang Tegal dicampur dengan tauco. Itulah mengapa sauto bewarna keruh.

Dengan adanya tauco yang adalah hasil fermentasi kedelai, rasa sauto berpadu antara manis, gurih, asin, dan sedikit asam. Menjadi lebih segar ketika dicapur dengan perasan jeruk limau dan sambal pedas.

Lombok Idjo yang Ngangeni

Kuliner lain yang kami buru untuk makan siang adalah Restoran Lombok Idjo. Ini bukan khas Tegal, tetapi makanan ini sangat enak. Kali pertama kami mencobanya justru di Yogyakarta. Menu yang selalu kami pesan di restoran yang buka pertama di Semarang tahun 2006 itu, adalah sayur asem, empal, dan ikan goreng.

Restoran Lombok Idjo

Selain itu, yang patut dicoba dan ngangeni di restoran yang selalu memajang patung Semar yang besar ini adalah sambalnya. Seperti namanya, sambal lombok idjo adalah andalannya. Namun sambal lain juga enak, karena rasanya seperti masakan rumahan.

Setelah makanan berat, buruan kami selanjutnya adalah camilan. Kembali dari hasil penelusuran online dan rekomendasi teman, ternyata kue pia juga ada di Tegal. Tapi katanya, pia di daerah pesisir pantura ini memiliki rasa khas. Tidak seperti pia Jogja yang wilayahnya di tengah Pulau Jawa.

Bukan Bakpia, Tapi Latopia

Karena penasaran, kami meluncur ke Pia Echo Liao Tjioe Lan di Jl. Pawedan, Mintaragen, Tegal. Kami berspekulasi, dari namanya pia di sini enak dan legendaris. Benar saja, pia yang oleh orang Tegal disebut latopia ini emang enak dan ukurannya lebih besar dari bakpia di Yogyakarta. Jika bakpia umumnya basah, tapi latopia kering, kulitnya tipis dan renyah dengan isian yang banyak serta lembut.

Ada berbagai isian rasa yang membuat latopia dikangeni. Ada kacang ijo dan coklat. Tetapi juga ada rasa yang lebih modern seperti keju, nanas, sari buah, sampai durian. Selain latopia, ada yang membuat mata saya penasaran. Di sudut display kaca tertulis “sopia.” Dalam hati, kok itu seperti judul lagunya Sheila on 7. Ternyata itu semacam latopia tetapi berbentuk lebih oval dengan kulit lebih tebal, di dalamnya berisi gula aren. Saya beli 2, dan benar rasanya enak.

Pia Tegal emang enak banget. Beda rasany adengan Pia Jogja, Pia Surabaya atau Pia Bali yang pernah saya makan.

Menurut sejarahnya, kue pia memang mendapat pengaruh dari keturunan Tionghoa. Di negara Tiongkok sendiri, kue yang mirip bakpia atau latopia disebut tiong ciu pia atau moon cake. Tapi setelah pia masuk Indonesia pun, walau dipelopori oleh warga Tionghoa tetapi tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Terlebih kini yang membuat pia juga orang Jawa, yang pada umumnya pernah bekerja di pabrik pia milik orang Tionghoa.

Jelajah kuliner yang hanya sebentar di Tegal, nyatanya telah membuka mata kami betapa kayanya Indonesia. Soto yang populer di Indonesia, nyatanya memiliki banyak jenisnya tersebar di tiap daerah. Pia yang dari Tiongkok, sangat populer di Indonesia bahkan bisa sangat beragam rasanya mengikuti kultur daerah setempat. Dan makanan khas Indonesia berhasil dirawat dengan baik oleh Lombok Idjo yang telah memiliki banyak cabang, bahkan sampai keluar Pulau Jawa.

Ditutup dengan Memanjatkan Syukur

Agenda utama ke Tegal tidak hanya mengantar Yosef pindahan. Memang tempat kos sudah dapat, dari teman kantor saya. Tapi, kelengkapan kos seperti kasur dan alat kebersihan belum ada. Oleh karena itu, setelah sarapan dan kulo nuwun dengan pemilik kos, kami hunting perlengkapan kos tadi. Alhasil, wisata kuliner praktis hanya setengah hari.

Artinya, dalam satu hari kami telah melengkapi dan membereskan kamar kos hingga siap ditiduri. Di hari yang sama, kami pun telah menikmati suasana Kota Tegal dan merasakan beberapa kulinernya yang legendaris. Kini tepat rasanya untuk berserah diri memanjatkan syukur kepada Tuhan yang Mahaesa.

Menjelang sore, kami mengujungi Gereja Hati Kudus Yesus, Tegal. Bangunan gerejanya megah, klasik, dan saat memasukinya berasa damai. Ada banyak keistimewaan di gereja ini. Pertama, usia gereja ini menginjak 92 tahun pada 2019. Kedua, sejak 2008 gereja memiliki Taman Rohani Hati Kudus Yesus di belakang Pastoran.

Gereja Hati Kudus Yesus

Di taman inilah, suasana rohani dan fisik terbangun dengan baik. Betapa tidak, pepohonan yang rindah di taman ini memberikan kesejukan luar biasa di tengah cuaca Tegal yang begitu terik khas pantura. Dekorasi rohani dengan patung Hati Kudus Yesus, Jalan Salib dan Pieta menarik hati kami untuk semakin dekat denganNya.

Di salah satu pojok taman, ada Kapel Adorasi. Tidak semua gereja memilikinya. Kapel ini menjadi sarana bagi kita untuk bisa beradorasi kepada Hati Kudus Yesus secara terus menerus. Beruntung bagi kami, saat itu tidak ada orang sehingga kami bisa beradorasi di hadapan HatiNya dalam keheningan. Dalam sayup, terdengar suara angin menerpa pepohonan dan gemercik air mancur.

Sujud syukur di Kapel Adorasi di Gereja Hati Kudus Yesus, Tegal.

Pulang ke Jakarta

Sekitar jam 17.00 kami berpisah dengan Yosef. Semoga Yosef cepat beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan yang baru. Sedangkan kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Tidak langsung pulang ke Jakarta, tetapi bermalam dulu di Cirebon.

Kenapa Cirebon? Daerah ini cukup akrab dengan kami. Beberapa kali kami ke kota ini bersama keluarganya Sari, bahkan tante Sari yang tinggal di Belanda pernah kami ajak ke Kota Udang tersebut.

Sebelum masuk ke Cirebon, kami sengaja singgah ke Rest Area KM 260 B. Ketika kami pulang dari Lasem, rest area ini belum jadi. Tetapi rest area tersebut berhasil menyihir rasa penasaran kami, karena berdiri di atas bekas pabrik gula. Sekilas suasanya seperti De Tjolomadoe, bekas pabrik gula di Karanganyar Jawa Tengah yang telah disulap menjadi tempat wisata kece.

Kami sengaja singgah ke Rest Area KM 260 B. Eh, mata udah sepet, Sari minta dipotoin di alang-alang. Gimana cobaaa.. tapi bagus juga sihhh

Rest area anyar ini berdiri di komplek Pabrik Gula Banjaratma yang telah berdiri sejak 1908. Saat memasukinya, pabrik yang ditutup tahun 1997 itu langsung membawa kita ke suasana tropis. Ada semacam glass house yng di dalamnya ada pohon, kolam dengan gemercik air dan banyak burung yang sedang beraktifitas.

Sebagai rest area tipe A, fasilitasnya super lengkap. Salah satu bangunan lain yang menarik mata adalah Masjid. Walau bangunan baru, tetapi arsitekturnya yang kental nuansa terakota menyatu dengan sisi heritage dari pabrik gula.

Jik belum puas kulineran di Tegal atau Brebes, ada banyak kios di rest area ini. Pelaku UMKM daerah setempat memenuhi lapak yang telah disediakan. Inilah bentuk komitmen Presiden Jokowi untuk memberikan tempat bagi UMKM lokal menjajakan ciri khas daerahnya di rest area. Sejauh yang kami liat, tidak ada restoran modern yang berdiri di sini.

Ngaso sambil menikmati hidup di Restoran Banaran di Rest Area KM 260 B.

Kami sendiri memilih Banaran Resto sebagai tempat istirahat. Saya perlu kopi dan waktu sejenak untuk menyelonjorkan kaki setelah seharian nyetir. Resto ini milik PTPN IX yang menyajikan hasil kebunnya sendiri, yakni kopi dan teh. Tempatnya nyaman, homey, dan cukup untuk mengembalikan kesegaran tubuh.

Pukul 19:49 kami memasuki daerah Cirebon setelah membayar di Gerbang Tol Plumbon 1 sebanyak Rp. 69.000. Kami langsung menuju Batiqa Hotel Cirebon untuk istirahat. Keesokan harinya, kami sarapan di Lombok Idjo Cirebon dan berbelanja batik di Lebet Sibu. Lalu makan siangnya di Waroeng Spesial Sambal “SS” di Jl. Tuparev No.56A.

Waroeng Spesial Sambal “SS” Cirebon.

Sama seperti Lombok Idjo, restoran ini juga pertama kali mencobanya di Yogyakarta. Maklum saya kan 4 tahun tinggal di Kota Pelajar itu. Untungnya, restoran langganan saya ternyata cocok juga di lidahnya Sari, hehehe. Sebelum pulang, kami beli oleh-oleh Empal Gentong Haji Apud.

Tepat pukul 14:10 kami melakukan transaksi di Gerbang Tol Palimanan Utama senilai Rp. 2500. Sekitar 1,5 jam kami berhenti di Gerbang Tol Cikampek Utama 2 dan membayar Rp. 117.000. Dan akhirnya kami sampai di pemberhentian terakhir di Gerbang Tol Halim pukul 17:37 dengan tarif Rp. 9.500.

Inilah sharing perjalanan kami. Semoga informasi yang diberikan dapat membantu atau sekadar pembanding. Jika kiranya ada tempat atau kuliner lain yang lebih menarik boleh dikomen, biar kami “remed” pergi ke Tegal. Hehehe…#Modus

Salah satu tempat wisata batik di Cirebon adalah Batik Lebet Sibu, selain barangnya bagus juga asyik untuk putu-putu
Facebooktwitterby feather
wawan
Tanpa rokok, kopi saya menenteramkan nalar dan hati. Sembari terus menggulat di bidang komunikasi. Dulu menulis, lalu belajar fotografi dan kini bermain dengan videografi. Semua dijalani karena panggilan dan semangat berbagi. Terima kasih untuk atensinya, Tuhan memberkati.
https://www.onetimes.id

Leave a Reply

Top