Jam baru menunjukkan menit ke-10 dari pukul 15. Namun cuaca sudah seperti malam. Matahari meredup dan embun mulai turun. Membuatku mengancingkan jaket dan melipat tangan di depan dada. “Dingin ya, Pak,” kataku pada Hasan (57), pemandu lokal, sembari mengeluarkan asap embun dari mulutku.
Baru saja menjejakkan kaki tanah Pagaralam, Propinsi Sumatera Selatan, saya yang datang bersama teman, seorang calon pastor Indri, sudah minta diantarkan ke kebon teh di lereng timur Gunung Dempo. Kala itu Januari 2011, yang sudah barang tentu, Indri sekarang sudah menjadi Pastor SCJ.
Kisah seduan teh Dempo yang coklat pekat dengan aroma khasnya membuatku ingin ke sana. Di samping kehausan akan udara sejuk dan menyehatkan bagi orang seperti saya yang tinggal di Jakarta. Dengan mobil tua bercat merah kami menuju kebon teh yang luasnya mencapai 1.478 hektar.
Di salah satu perhentian, saya tercenung sebentar. Saya lahir dan besar di Palembang, tapi baru kali ini benar-benar menyadari ada tempat seperti Pagaralam. Walau tidak seterkenal daerah Puncak, Lido Sukabumi, Balekambang dan Batu di Malang, tapi kota Pagaralam tidak kalah dengan kota-kota wisata tersebut. Sejauh mata memandang, hamparan alam dianugerahkan. “Pagaralam. Memang kota ini dipagar oleh alam nan elok,” gumamku pada Hasan.
Secara topografis, ketinggian wilayah Pagaralam sangat bervariasi, dari ketinggian sekitar 441 meter dpl (diatas permukaan laut) sampai dengan 3.000-an meter lebih dpl. Daerah dataran tinggi 441 meter sampai dengan 1.000 meter dpl, sedangkan daerah berbukit dan bergunung (bagian pegunungan) berada pada ketinggian di atas 1.000 meter hingga 3.000 meter lebih dpl. Titik tertinggi adalah 3.173 meter dpl, yaitu puncak Gunung Dempo, yang sekaligus merupakan gunung tertinggi di Sumatera Selatan.
Bukit dan gunung yang terpenting di wilayah Kota Pagar Alam, antara lain adalah Gunung Dempo (3.173 m), Gunung Patah, (2.817 m), Bukit Raje Mendare, Bukit Candi, Bukit Ambung Beras, Bukit Tungku Tige (Tungku Tiga), dan Bukit Lentur. Bagian wilayah kota yang marupakan dataran tinggi, terutama bagian timur, umumnya disebut “Tengah Padang”. Daerah pusat Kota Pagaralam yang meliputi kecamatan Pagaralam Utara dan Kecamatan Pagaralam Selatan atau wilayah bekas Marga Sumbay Besak suku alundue terletak pada ketinggian rata-rata 600 samapai 3.173 meter dpl.
Teh Hitam
Teh Gunung Dempo walau terkenal tapi sulit untuk kita jumpai. Dikarenakan 90 persen produksi teh Gunung Dempo dilempar ke pasar ekspor seperti Eropa dan India. Sisanya untuk produksi dalam negeri. Tentu dengan kualitas di bawah produk ekspor. Bagi yang berminat untuk mencicipinya, teh yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Pagar Alam bisa mendapatkan di sekitar Pagar Alam. Itupun hanya 0,5 persen saja dari total produksi. Maka tak heran di Palembang saja, sebagai ibu kota Sumsel, susah untuk mendapatkannya.
Dengan luas kebun 1.478 hektar, PTPN VII yang dibangun 2 Mei 1929 rata-rata menghasilkan 40 ton teh pucuk basah setiap hari. Dalam setahun, produk teh Gunung Dempo rata-rata mencapai 14.000-17.000 ton teh pucuk basah atau setara 3.600-4.250 ton teh kering.
Harga teh kualitas terbaik berkisar 2,6 dollar Amerika Serikat atau Rp. 24.000-Rp.25.000 per kilogram. Sedangkan kualitas terendah yang umumnya untuk pasar domestik di kisaran Rp. 6.000-Rp. 9.000 per kilogram.
Kenapa teh Gunung Dempo melegenda? Menurut Acep Sudiar, Sinder Teknik Pengolahan Pabrik Teh PTPN VII Pagar Alam, teh Gunung Dempo berkualitas baik karena langsung menghadap sinar matahari pagi. Sinar matahari selama pukul 07.00-10.00 membuat proses fotosintesis berlangsung sempurna.
Selain itu, posisi ketinggian di kebun ini sangat ideal yakni berkisar 1.000-1.200 dpl. Jika terlalu tinggi, warna teh akan lebih pekat. Jika terlalu rendah, rasa dan aromanya berkurang. Tanaman teh yang lebih tinggi dan tidak terkena sinar matahari langsung membuat daun teh mudah terkena kabut dan air yang menempel di daun susah hilang. Akibatnya daun teh rentan terkenan cacar daun.
Warisan Megalitikum
Pagaralam tidak hanya kaya hasil bumi dan punya pemandangan yang aduhai, tetapi punya warisan megalitikum. Mungkin, manusia purba sudah betah tinggal di alam yang begitu makmur untuk melanjutkan kehidupan.
Di Bumi Basemah inilah, manusia pra sejarah telah menorehkan karya mereka pada rantang 1.000 – 1.400 tahun yang lalu. Ada arca, lesung batu, kubur batu, dolmen, dan menhir. Menurut peneliti Belanda bernama Van der Hoop, ada 22 area di Pagaralam yang memiliki situs Megalitikum. Sebagian besar kondisinya rusak, belum diidentifikasi dan ada juga yang masih terkubur.
Contoh sebarannya, misalnya Situs Tanjung Aro yang terdapat arca manusia yang dililit ular. Menurut cerita rakyat, arca tersebut mengisahkan sepasang muda mudi melanggar adat dengan melakukan perbuatan asusila diluar nikah, sehingga mereka di lilit oleh ular besar dan di kutuk menjadi batu hingga sekarang.
Baca Juga: Gua Cerme: Menyusur Sungai Bawah Tanah, Menyelami Tradisi, Dan Agama
Berikutnya, Situs Cagar Budaya Megalitik Tebing Tinggi yang terdapat batu lesung, dolmen, arca manusia menunggang kerbau, arca manusia di belit ular, singgasana raja, dan juga ada menhir. Kemudian, Situs Tegur Wangi di mana terdapat arca manusia dan dolmen.
Ada juga Situs Belumai, sekitar 2 km dari pusat kota Pagaralam. Di sana terdapat arca manusia berelief yang kerap di sebut sebagai batu gajah, lesung batu, batu bersusun empat dan batu gelang.
Ke Sana Yuks…
Belum habis kekaguman saya pada pesona kebon teh, Hasan mengajak kami curug yang terdapat di sekitar kebon teh. Curug adalah sebutan penduduk setempat untuk air terjun. Dari sekian banyak curug seperti Curug Embun, Curug Pancur, Curug Tujuh Kenangan, Curug Merak dan Curug Mangkok yang terkahirlah kami singgahi. Saying, kami tidak beruntung. Air di curug tidak terlalu banyak lantaran musim hujan yang belum datang. Air terjun ini terletak dalam satu kawasan di Kecamatan Pagar Alam Utara bisa juga melalui Kecamatan Pagar Alam Selatan.
Penasaran akan pesona sebuah kota yang dikelilingi alam? Tidak usah khawatir. Akses jalan ke Pagaralam tidak sulit. Untuk menuju ke sini, jaraknya sekitar 300 km dari Kota Palembang. Jalur darat yang ditempuh bisa melalui mobil pribadi, travel, atau bus umum. Bagi mereka yang hendak touring dengan sepeda motor juga banyak yang mencoba karena jalan aspalnya yang relatif mulus.
Bagi yang memilih untuk naik bus ongkosnya Rp. 40.000. Sedangkan travel biayanya Rp. 80.000. Jarak tempuhnya 6-8 jam. Secara umum perjalanan menuju ke Pagaralam sungguh menarik, terlebih kalau kita sudah memasuki daerah Lahat.
Baca Juga: Pesona Gigi Kera Di Pantai Siung
Mata kita akan dimajakan oleh gugusan pegunungan yang dilebati pepohonan. Hamparan sawah yang membentang tak kalah seperti di Pulau Jawa dan aliran Sungai Lematang yang sangat jernih sejajar dengan jalan raya. Dalam kondisi seperti ini, ada baiknya matikan AC kendaraan Anda, buka jendela, dan nikmati alam pedesaan.
Sebelum memasuki kota Pagar Alam, Anda akan disuguhi dengan pemandangan sungai dan tebing yang sangat indah. Tapi, harus hati-hati! Karena jalannya sangat sempit dan berkelok-kelok dengan tepian jurang yang kapan saja mengancam.
Uniknya, di tengah liukan jalan, terdapat kawasan wisata air terjun Lematang. Air terjun ini dapat di lihat dari jalan raya. Air terjunnya sendiri sangat indah, sedangkan vegetasi di sekitarnya yang berupa hutan belantara juga tak kalah indahnya, menambah kompleks wisata air terjun menjadi sangat eksotik. Sayang, saya tidak sempat untuk singgah barang sebentar saja.
Namun saya melihat banyak pengunjung yang lewat di jalan ini berhenti di sini dan melihat air terjun Lematang tanpa berjalan ke bawah. Cukup mengabadikan air terjun dari jalan. Pengunjung yang hendak turun melalui tangga cukup membayar tiket masuk ke dalam kawasan air terjun seharga Rp 1000. Anda tertarik?
by