Catatan Sejarah Klenteng Tertua di Jawa Justru Ada di Belanda

Facebooktwitteryoutubeinstagramby feather

Mendadak mata begitu berat. Pundak lemah tak berdaya. Di ujung gedung bertingkat itu, perlahan mentari menampakkan dirinya. Kembali tubuh merasakan ketidakberdayaan.

Kini kaki kanan yang tampak menyerah walau sekadar mempertahankan posisi rem. Sesaat saya menyadari, saat ini seharusnya saya mengolet dan memanjakan diri di atas kasur. Tapi nyatanya, saya berada di daerah Bekasi, Jalan Tol Capek, dan sudah berkendara di belakang kemudi selama 2 jam.

Kami memutuskan untuk berlibur sejenak saat Bulan Ramadhan memasuki hari ketujuh. Sabtu subuh berangkat ke Lasem, dan kembali ke Jakarta keesokan harinya. Inilah cara kami rehat di luar waktu libur. Alasannya sederhana, yakni menghindari kemacetan dan biaya tinggi, khususnya tarif hotel dan tempat-tempat wisata.

Secara umum, perjalanan darat Jakarta menuju kota yang masuk Kabupaten Rembang cukup lancar. Sebagian jalan menggunalan tol, mulai dari Gerbang Tol Kelapa Gading sampai Semarang.

Klenteng Cu An Kiong tampak dari depan

Tak dipungkiri, pembangunan infrastruktur yang digenjot pemerintah memberikan banyak manfaat. Bahkan, bagi mereka yang belum bisa membawa kendaraan sendiri, pilihan menggunakan bus umum pun pasti lebih cepat dan murah.

Catatannya adalah minim rest area, utamanya di jalur Palimanan – Semarang. Namun demikian, karena perjalanan lancar, kami hanya berhenti dua kali di rest area untuk buang air kecil.

Sedangkan BBM baru isi saat di Semarang. Lepas dari Kota Lumpia, kami menggunakan arteri Pantura. Di Kudus kami berhenti untuk makan siang. Bagi yang bingung mau makan apa ketika melewati Kota Kretek ini, cobalah menyantap Garang Asem di Rumah Makan Sari Rasa. Enak, murah, bumbu nampol, dan membuat badan kembali segar untuk melanjutkan perjalanan.

Hampir 10 jam perjalanan, sampailah kami di perhentian pertama di Lasem. Kami tidak istirahat di hotel atau tempat makan, tetapi di Klenteng Cu An Kiong. Menurut Cynthia, Kakak Ipar yang ikut dalam perjalanan dan sudah lima kali ke Lasem, Klenteng ini paling terkenal dari banyak tempat serupa di Lasem.

Baca Juga: Cerita Batik Tiga Negeri: Pewarnaan Dari 3 Kota, Seharga 2 Sapi, Sampai Merah Darah Ayam

Tak lama turun dari mobil, dengan sendirinya kami menyebar. Istri menemani ibunya keliling dan sesekali ngobrol dengan ibu penjaga klenteng. Cynthia sudah sibuk dengan kameranya. Saya sendiri asyik mendokumentasi apa saja, sembari sedikit wawancara dengan bapak penjaga klenteng.

Dari bincang-bincang, diketahuilah bahwa Lasem awalnya hutan jati yang sangat lebat. Kawasan ini dibuka oleh imigran yang datang dari Tiongkok Selatan yang ingin memperbaiki nasib.

Pendapat ini mengacu dari arsitektur Klenteng Cu An Kiong yang mengadopsi gaya Tiongkok bagian selatan pada masanya. Tampak jelas dari bentuk atapnya yang menyerupai ekor walet atau sering disebut “Ying Shan.”

Catatan Sejarah yang Hilang

Populasi orang Tionghoa di Lasem terus berkembang dan maju secara ekonomi. Bahkan Lasem pernah menjadi pintu masuk candu atau narkoba yang kala itu “halal.” Sekitar tahun 1800-an, Lasem menjadi daerah dengan populasi Tionghoa terbanyak se-wilayah Pantura Jawa.

Perlahan kota ini mulai memudar dan orang Tionghoa mulai pindah ke arah Timur yakni Surabaya, juga ke Semarang arah Barat. Namun Lasem tetap mempertahankan identitasnya sebagai kota multikultur yang mampu mempersatukan budaya Tionghoa dan Jawa dalam tiap sendi kehidupan.

Salah satu saksi bisu kerukunan hidup di Lasem adalah Klenteng Cu An Kiong. Tempat ibadah dengan nuansa Taoisme ini diyakini didirikan oleh penduduk Tionghoa yang kali pertama “babat alas” di Lasem.

Tidak ada catatan sejarah yang tertinggal di klenteng ini perihal pendiriannya. Hanya diketahui klenteng direnovasi sekali saja di tahun 1838. Selebihnya, semua bangunan dengan segala isinya masih asli. Hanya bangunan tambahan di ruang depan dan bangunan di sisi kanan-kiri klenteng sebagai tambahan.

Klenteng Cu An Kiong yang mengadopsi gaya Tiongkok bagian selatan pada masanya. Tampak jelas dari bentuk atapnya yang menyerupai ekor walet atau sering disebut “Ying Shan.”

Catatan sejarah hilang seiring dengan penjajahan Belanda yang juga masuk ke daerah Lasem. Bukti-bukti sejarah diyakini dicuri oleh Belanda, sebagian di antaranya masih ada di Museum di Belanda.

Dari sejumlah pengurus museum Indonesia yang pernah ke Den Hag, Belanda, diketahui kalau klenteng ini ada di dalam peta Lasem buatan 1477. Maka masuk akal juga jika ada sumber lain yang menyebut kalau klenteng dibangun pada 1335. Artinya, umur klenteng ini tidak kurang dari 600 tahun dan menjadikannya sebagai klenteng tertua di Pulau Jawa.

Apa yang dialami Klenteng Cu An Kiong jamak ditemui di bangunan bersejarah di seluruh Indonesia. Satu sisi kita geram kenapa bagian dari sejarah bangsa ini berada di negeri mantan penjajah.

Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC yang berada di halaman depan Klenteng Cu An Kiong.

Namun di sisi lain kita juga mesti intropeksi diri, jika memang diserahkan kepada kita apakah kita mampu merawat, meneliti, dan belajar dari sejarah kearifan nenek moyang kita?

Bagi saya, sudah cukup menjadi alasan untuk menyukuri bahwa mayoritas bangunan fisik Cu An Kiong ini masih asli. Apalagi sejak awal, klenteng ini turut merawat keragaman bangsa ini.

Sebagai tanda sudah berbaurnya antara masyarakat Tionghoa dan pribumi, setiap hari ulang Thian Siang Seng klenteng akan merayakan sejumlah pergelaran wayang kulit, klonengan dan gamelan.

Lasem Sebagai Jendela NKRI

Di halaman depan klenteng, terdapat Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC khususnya dalam periode 1740-1743. Monumen ini ingin menunjukkan fakta sejarah, bahwa sejak awal masyarakat keturunan Tionghoa bersekutu dengan masyarakat Jawa (pribumi) melawan penjajahan Belanda.

Pada periode itu tersebut tokoh Souw Phan Ciang/ Khe Panjang, Tan Sin Ko/ Singseh, Oey Ing Kiat/ Raden Tumenggung Widyaningrat/ Bupati Lasem, Tan Kee Wie,Pakubuwono II, Amangkurat V, Patih Margono, Pangeran Mangkubumi, dll.

Interior Klenteng Cu An Kiong

Di masa jayanya, Lasem adalah pusat ekonomi dengan terdapatnya dermaga yang kini sudah tidak ada lagi. Tidak hanya mendatangkan rejeki bagi masyarakat Tionghoa tetapi juga penduduk pesisir lain. Satu sama lain guyub dalam hidup bermasyarakat, ekonomi, bahkan bersama mengusir penjajah.

Kini klenteng yang sama masih berdiri di tengah masyarakat heterogen. Tidak ada lagi aktivitas dermaga, tetapi kegiatan niaga diwakili oleh raungan bunyi kendaraan berat yang melewati Jalur Pantura, tak jauh dari klenteng.

Jendela inkulturasi tidak hanya tampak di Klenteng Cu An Kiong, tetapi juga dari warisan budaya lainnya, yakni Batik Tulis Lasem. Bagian ini akan saya bahas di tulisan berikutnya. Bagi saya, perjalanan ke Lasem menjadi refleksi untuk melihat pondasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu sudut di Klenteng Cu An Kiong. (Foto: Cynthia Iskandar)

Kita beragam, berbeda satu sama lain, tetapi sejak awal sudah belajar untuk menghargai satu sama lain demi menjaga persatuan negara tercinta ini menuju bangsa besar yang disegani negara-negara lain.

Akhir kata saya ucapkan, “Selamat Merayakan Idul Fitri 2019 bagi admin dan Kompasianer yang merayakannya. Mohon maaf lahir dan batin untuk semua.” Bagi yang liburan dan memungkinkan, silahkan mampir ke klenteng ini sembari merenungkan arti penting persatuan bagi bangsa kita, terutama pasca Pemilu 2019.

Facebooktwitterby feather
wawan
Tanpa rokok, kopi saya menenteramkan nalar dan hati. Sembari terus menggulat di bidang komunikasi. Dulu menulis, lalu belajar fotografi dan kini bermain dengan videografi. Semua dijalani karena panggilan dan semangat berbagi. Terima kasih untuk atensinya, Tuhan memberkati.
https://www.onetimes.id

Leave a Reply

Top